Info

SELAMAT DATANG

My Radian | Indonesia Visi Menjadi Sebuah Lembaga / Instansi yang berguna dan bermanfaat bagi dunia dan semua orang disekitarnya , Serta Mampu Menciptkan Suatu Hasil Karya Nyata yang terbaik dan menjadi kebutuhan hidup setiap orang didunia untuk membantu meringankan Aktivitas Sehari Hari.

Sekilas Tentang Admin

My Radian | Indonesia, Nama Pembuat : Rana, Tanggal Pembuatan 21 November 2011 Dengan Menggunakan Nama Phoenix, dengan kemudian berganti menjadi RADIAN pertanggal 29 Oktober 2012 Terima Kasih

Follow Me

Jumat, 13 Januari 2012

SEJARAH SUNAN AMPEL RADEN RAHMAT


   Sejarah Sunan Ampel Raden Rahmat

Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah Makhdum Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islammazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Kapten Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil).


Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias Syaikh Bantong (alias Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V (alias Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan  ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya.
Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Asia Tengah (Samarkand). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati (anak Sultan Champa) yang menjadi permaisuri raja Brawijaya.


Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Beliau datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil isteri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak Brawijaya VII) . Dipati Hangrok (alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI) telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan isteri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut wafat ketika isterinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristerikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai isteri oleh Sunan Kudus(tepatnya Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.

Sejarah Dakwah
Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim (Makdum Ibrahim/Haji Bong Tak Keng) dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.

Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya mengubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri raja Champa (adik Dwarawati), dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan isteri dari Sunan Kudus.Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung DemakSunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.


If Maulana Malik Ibrahim community in Java, then Sunan Ampel of Surabaya is recognized as the 
figure who cultivated and consolidated the influence of his predecessor. Tradition has it that Sunan Ampel was a kind of 'older brother', to whom the other walls went for guidance. Indeed, two members of the Wali Songo, Sunan Bonang and Sunan Drajat, were his own sons. It is said further that Sunan

Ampel was the spiritual force behind the founding of Java's first Islamic kingdom in Demak. As to the origins of Sunan Ampel, it is believed that his father Syekh Maulana Ibrahim Asmorokondi,who came from the Middle East or somewhere in Central Asia, married a princess of Campa, from where the young Raden Rachmad (Sunan Ampel) arrived in Java early in the 15th century. He died in A.D. 1479 and was buried at Ngampeldenta, Surabaya. An entrance to the tomb of Sunan Ampel, Surabaya
  


BAB III
SUNAN AMPEL
Di Rusia selatan ada sebuah daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai perawi hadits sahih. Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Orang jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanyamenyebutkan sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berda’wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan. Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi kisah dan ajaran Wali Sanga > karya H.Lawrens Rasyidi > published by ronKramer 2 mendapat dua orang putra yaitu Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah dan raden Santri atau Sayyid Alim Murtolo.
Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian Raden Rahmat itu keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan. Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya tidak kalah menarik dengan Dewi Sari.
Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang. Ketika Dewi Kian di ceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih terkenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro. Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabhumi. Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit.
Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.
       “Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak takut lagi kepada Sang Hyang Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan tindakan yang tidak terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka bahkan para pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh berbahaya bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”
“Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.

“Lalu apa tindakan Kanda Prabu ?”

“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah bikhu dan brahmana untuk mendidik dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka masih tetap seperti semula, bahkan guru-guru agama Hindu dan Budha itu dianggap sepele.”
“Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati. 
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri
Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk
mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.”

“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan
Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.” Kata Raja Brawijaya.

Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman. Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan didesa tersebut yang masih termasuk ke camatan Palang kabupaten Tuban. Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berda’wah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berda’wah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia ?” tanya sang Prabu.
Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab.

“Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan
kemampuan saya mendidik mereka.”

“Bagus !” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah
berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan
pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”

“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap
beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang
bernama Dewi Candrawati. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang
Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit.
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Sayyid Ali
Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang disebut sebagai Ampeldenta.

Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu. Diantaranya
adalah pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama Siti Karimah yang
kemudian menjadi isterinya. Dan sepanjang perjalanan itu beliau juga melakukan da’wah
sehingga bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti perjalanannya ke Ampeldenta.
Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau
adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada
jaman dulu di tandai dengan nama depan Raden. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan
sebutan Raden Rahmat. Dan karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa
daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan artinya yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Langkah
pertama yang dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta adalah membangun masjid
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sewaktu hijrah ke Madinah. Selanjutnya beliau
mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa
saja yang mau datang berguru kapada beliau.

Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau tidak mau melakukan
lima hal tercela yaitu: main judi, minum arak atau bermabuk-mabukkan, mencuri, madat atau
menghisap madu dan madon atau main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap
agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian
mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah,
hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan
diseluruh Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmatpun
memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai
sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa
murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah
Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang dan Sunan Drajad
adalah putra Sunan Ampel sendiri.

Jasa beliau yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya kerajaan Islam dengan
rajanya yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan menantunya sendiri. Beliau juga turut
membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu
diantara empat tiang utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan
yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Sikap Sunan Ampel terhadap adapt istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung
oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para
Wali di masjid Agung Demak.
Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan,
bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan
Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel :
“Apakah tidak mengkwatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama
itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan
nantinya akan menjadi bid’ah ?”

Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali.
Sebagai missal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.” 


Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka. Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.
Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila Sunan Ampel
mendapat beberapa putra di antaranya :

1. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
2. Raden Qosim atau Sunan Drajad.
3. Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan.
4. Siti Mutmainah
5. Siti Alwiyah

6. Siti Asikah yang diperistri Raden Patah

Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo beliau

dikaruniai dua orang putrid yaitu :

1. Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri.
2. Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga.

Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti adalah kesiapan mereka dalam menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal adat istiadat rakyat Jawa sudah jelas Sunan Ampel berbeda pendapat dengan Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan
Gunung Jati. Tetapi mereka tetap bisa hidup rukun damai tanpa terjadi percekcokan yang
menjurus pada pertikaian. Bahkan Sunan Kalijaga yang terkenal sebagai pelopor penjaga
aliran lama itu menjadi menantu Sunan Ampel.

Putra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung pendapat Sunan Kalijaga. Sunan Drajad atau Raden Qosim yang juga putra Sunan Ampel pada akhirnya juga  memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk mendekati rakyat Jawa agar mau menerima Islam. Itulah jiwa besar yang dimiliki para Wali. Saling menghargai medan perjuangan masing-masing anggotanya.

Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.
Setiap hari banyak orang yang berziarah ke makam beliau bahkan pada malam harinya juga.
Semoga Allah manaikkan beliau ke derajat yang tinggi, drajad para auliya muqorrobin
dan meridhai segala amal beliau.
*****

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar yang layak dan bijak, komentar yang mengandung SPAM, SARA , dan PORNOGRAFI akan saya hapus . Blog DOFOLLOW.
Saya Mengucapkan banyak terimakasih atas partisipasi dan atas kunjungan kalian, Saya Berharap semoga ini bisa bermanfaat buat kita semua .